Artikel

HAK PARA PIHAK YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERADILAN

03 Mei

HAK PARA PIHAK YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERADILAN

1. Membuat gugatan bagi penggugat yang buta huruf

Hal ini ditegaskan dalam Pasal 120 HIR dinyatakan bahwa “Jika penggugat tidak cakap menulis, maka tuntutan boleh diajukan secara lisan kepada ketua pengadilan neeri; Ketua itu akan mencatat tuntutan itu atau menyuruh mencatatnya.” Ditegaskan pula dalam Pasal 144 RBg:

“(1) Bila penggugat tidak dapat menulis, maka ia dapat mengajukan gugatannya secara lisan kepada ketua pengadilan negeri yang membuat catatan atau memerinathkan untuk membuat catatan gugatan itu. Seorang kuasa tidak dapat mengajukan gugatan secara lisan.

Dapat disimpulkan dari kedua pasal tersebut di atas bahwa pengadilan negeri diperbolehkan untuk membuatkan surat gugatan tertulis untuk pihak penggugat yang tidak cakap menulis atau buta huruf. Menurut Yahya Harahap dalam bukunya “Hukum Acara Perdata”, ketentuan Pasal 120 HIR dan Pasal 144 RBg di atas hanya ditujukan untuk penggugat yang tidak bisa membaca dan menulis dan bukan untuk orang yang buta hukum atau kurang memahami hukum.

Selain itu, dalam yurisprudensi juga diatur mengenai cara pengajuan gugatan lisan melalui Putusan Mahkamah Agung No. 396 K/Sip/1973 tanggal 4 Desember 1975, ditegaskan bahwa Penggugat harus menyampaikan secara pribadi gugatan secara lisan dan tidak boleh diwakili oleh kuasanya. Yurisprudensi yang lain juga mengatur mengenai gugatan secara lisan yaitu Putusan Mahkamah Agung No. 195 K/Sip/1955 tanggal 28 November 1956 yang menyatakan bahwa dalam hal gugatan lisan, adalah tugas Hakim Pengadilan Negeri untuk menyempurnakan gugatan tulisan tersebut dengan jalan melengkapinya dengan petitum, sehingga dapat mencapai apa sebetulnya yang dimaksud oleh penggugat.

2. Pengarahan tata cara izin prodeo

Bagi masyarakat miskin, hukum acara membuka kemungkinan untuk berperkara secara prodeo atau tanpa biaya, yang diatur dalam Pasal 237-245 HIR.

3. Penyempurnaan surat kuasa

Syarat formal keabsahan surat kuasa khusus:

  • Harus berbentuk tertulis

-          Dapat berupa akta di bawah tangan

-          Dapat berupa akta yang dibuat Panitera Pengadilan yang dilegalisir oleh Ketua Pengadilan

-          Dapat berupa akta otentik yang dibuat oleh Notaris

  • Harus menyebut nama para pihak yang berperkara dan kompetensi relative
  • Harus menegaskan tentang hal yang disengketakan termasuk jenis dan obyek sengketa
  • Merinci batas-batas tindakan yang dapat dilakukan penerima kuasa

4. Perbaikan surat gugatan

Banyak cacat informasi yang dapat menyebabkan suatu surat gugatan atau permohonan tidak sempurna, missal obscuur libel, error in persona, atau dari sudut kewenangan relatif atau absolut. Sepanjang perbaikan yang dianjurkan menyangkut masalah formal, hal tersebut masih dianggap dalam batas-batas yang dibenarkan Undang-Undang. Kecuali perbaikan yang mengandung perubahan materiil atau pokok perkara, sudah dianggap di luar batas kewenangan pemberian bantuan.

Misalnya terjadi kesalahan penulisan nama, atas kesalahan tersebut dapat dilakukan perubahan dengan renvoi (pembetulan/perbaikan tambahan) yang dilakukan di hadapan hakim di muka persidangan. Akan tetapi, jika kesalahan nama yang dimaksudkan terkait dengan salah orang, maka hal tersebut termasuk dalam penyimpangan dari kejadian materiil yang diuraikan dalam surat gugatan sehingga tidak dapat diubah dengan memasukkan pihak baru. Pengguat harus mencabut gugatannya dan memasukkan gugatan baru dengan pihak yang sesuai dengan kejadian materiil.

5. Penjelasan alat bukti yang sah

Adapun alat-alat bukti yang sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP, adalah sebagai berikut:

  • Keterangan saksi

Menurut Pasal 1 butir 27 KUHAP, keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.

  • Keterangan ahli

Menurut Pasal 1 butir 28 KUHAP, keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang.

  • Surat

Menurut Pasal 187 KUHAP, surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:

-          Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;

-          Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggungjawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;

-          Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dan padanya;

-          Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain

  • Petunjuk

Menurut Pasal 188 KUHAP ayat (1), Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

  • Keterangan terdakwa

Menurut Pasal 189 ayat (1) KUHAP, Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang dilakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri.

  • Penjelasan cara mengajukan bantahan dan jawaban

Hal ini terutama seluk beluk mengenai eksepsi yang ditentukan dalam Pasal 136 HIR, hal tersebut perlu dijelaskan oleh hakim, termasuk penjelasan tentang akibat ketidakhadiran dalam persidangan berikutnya yang bisa berakibat pemeriksaan dilanjutkan terus tanpa bantahana dari pihak yang tidak hadir.

  • Bantuan upaya hukum

Banyak orang awam dalam masalah hukum dan miskin dalam pembiayaan sehingga tidak sanggup membayar jasa penasihat hukum. Misal bantuan dalam pembuatan surat gugatan yang murni data digali dari Pemohon dan bukan rumusan pejabat pengadilan. Dalam hal banding atau kasasi juga perlu dijelaskan batas waktu/tenggang pengajuan perkara, serta pentingnya memori kasasi dalam pengajuan perkara kasasi. Terhadap pemohon kasasi yang buta hukum, pengadilan dapat memberi bantuan merumuskan secara singkat alasan memori yang disampaikan oleh pemohon, sehingga sebagai Warga Negara Indonesia mereka tetap mendapatkan pelayanan hukum secara maksimal tanpa pengecualian.

MEDIASI DI PENGADILAN

03 Mei

Mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa secara damai yang tepat, efektif, dan dapat membuka akses yang lebih luas kepada para pihak untuk memperoleh penyelesaian yang memuaskan serta berkeadilan.Perdamaian merupakan cara terbaik dalam menyelesaikan persengketaan di antara pihak berperkara. Dengan perdamaian, maka pihak-pihak berperkara dapat menjajaki suatu resolusi yang saling menguntungkan satu sama lain. Ini dikarenakan, dalam perdamaian, yang ditekankan bukanlah aspek hukum semata, namun bagaimana kedua belah pihak tetap dapat memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dari pilihan-pilihan yang mereka sepakati. Disini terlihat pula bahwa dengan perdamaian, penyelesaian justru lebih mengedepankan sisi humanitas dan keinginan untuk saling membantu dan berbagi. Tidak ada pihak yang kalah maupun menang, yang ada hanyalah pihak yang menang secara bersama-sama. Dalam rangka reformasi birokrasi Mahkamah Agung Republik Indonesia yang berorientasi pada visi terwujudnya badan peradilan Indonesia yang agung, salah satu elemen pendukung adalah mediasi sebagai instrument untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap keadilan sekaligus implementasi asas penyelenggaraan peradilan yang sederhana, cepat, dan berbiaya ringan. Ketentuan hukum acara perdata yang berlaku, Pasal 154 Reglemen Hukum Acara untuk daerah luar jawa dan Madura (Reglement Tot Regeling Van Het Rechtwezen In De Gewesten Buiten Java En Madura, Staatsblaad 1927:227) dan Pasal 130 Reglemen Indonesia yang diperbaharui (Het Herziene Inlandsch Reglement, Staatsblaad 1941: 44) mendorong para pihak untuk menempuh proses perdamaian yang dapat didayagunakan melalui mediasi dengan mengintegrasikannya ke dalam prosedur berperkara di Pengadilan. Proses mediasi di Pengadilan menjadi bagian hukum acara perdata dapat memperkuat dan mengoptimalkan fungsi lembaga peradilan dalam penyelesaian sengketa.

Definisi sengketa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pertentangan atau konflik beberapa pihak mengenai suatu objek permasalahan yang melibatkan kepentingan-kepentingan tertentu di antara para pihak yang terlibat di dalamnya. Menurut Yahya harahap, sengketa sebagai perselisihan yang terjadi diantara pihak-pihak (between contending parties) mengenai suatu hal yang menjadi objek dalam perjanjian antara pihak-pihak tersebut. Sengketa bisa terjadi ketika munculnya perasaan tidak puas oleh salah satu pihak karena terdapat pihak lain yang tidak memenuhi prestasi atau kewajiban-kewajibannya yang telah disepakati dalam butir-butir perjanjian atau persetujuan. Keadaan seperti itu disebut dengan wanprestasi atau tindakan ingkar janji. Wanprestasi dapat berupa :

  1. Tidak melaksanakan prestasi sama sekali;
  2. Melaksanakan prestasi, tetapi tidak sesuai dengan yang diperjanjikan;
  3. Melaksanakan perjanjian, tetapi terlambat atau tidak tepat pada waktunya;
  4. Melaksanakan hal-hal yang dilarang dalam perjanjian.

Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Mediator adalah hakim atau pihak lain yang memiliki sertifikat mediator sebagai pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Ketentuan mengenai prosedur mediasi dalam Peraturan Mahkamah Agung berlaku dalam proses berperkara di Pengadilan baik dalam lingkungan peradilan umum maupun peradilan agama. Setiap hakim, mediator, para pihak dan/atau kuasa hukum wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi. Hakim pemeriksa perkara dalam pertimbangan putusan wajib menyebutkan bahwa perkara telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediator. Hakim pemeriksa perkara yang tidak memerintahkan para pihak untuk menempuh mediasi sehingga para pihak tidak melakukan mediasi telah melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai mediasi di Pengadilan. Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan tersebut, apabila diajukan upaya hukum maka Pengadilan Tingkat Banding atau Mahkamah Agung dengan putusan sela memerintahkan Pengadilan Tingkat Pertama untuk melakukan proses mediasi. Kemudian, Ketua Pengadilan menunjuk mediator hakim yang bukan hakim pemeriksa perkara yang memutus. Proses mediasi dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya pemberitahuan putusan sela Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung. Ketua Pengadilan menyampaikan laporan hasil mediasi berikut berkas perkara ke Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung. Berdasarkan laporan tersebut, hakim pemeriksa perkara pada Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung menjatuhkan putusan.

Semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan termasuk perkara perlawanan (verzet) atas putusan verstek dan perlawanan pihak berperkara (partij verzet) maupun pihak ketiga (derden verzet) terhadap pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, wajib terlebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui mediasi, kecuali ditentukan lain berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung. Sengketa yang dikecualikan dari kewajiban penyelesaian melalui mediasi meliputi:

  1. Sengketa yang diselesaikan melalui prosedur Pengadilan Niaga;
  2. Sengketa yang diselesaikan melalui prosedur Pengadilan Hubungan Industrial;
  3. Keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha;
  4. Keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen;
  5. Permohonan pembatalan putusan arbitrase;
  6. Keberatan atas putusan Komisi Informasi;
  7. Penyelesaian perselisihan partai politik;
  8. Sengketa yang diselesaikan melalui tata cara gugatan sederhana; dan
  9. Sengketa lain yang pemeriksaannya di persidangan ditentukan tenggang waktu penyelesaiannya dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sengketa yang pemeriksaannya dilakukan tanpa hadirnya penggugat atau tergugat yang telah dipanggil secara patut. Gugatan balik (rekonvensi) dan masuknya pihak ketiga dalam suatu perkara (intervensi). Sengketa mengenai pencegahan, penolakan, pembatalan dan pengesahan perkawinan. Sengketa yang diajukan ke Pengadilan setelah diupayakan penyelesaian di luar pengadilan melalui mediasi dengan bantuan mediator bersertifikat yang terdaftar di Pengadilan setempat tetapi dinyatakan tidak berhasil berdasarkan pernyataan yang ditandatangani oleh para pihak dan mediator bersertifikat.

Pernyataan ketidakberhasilan mediasi dan salinan sah sertifikat mediator dilampirkan dalam surat gugatan. Berdasarkan kesepakatan para pihak, sengketa yang dikecualikan kewajiban mediasi tetap dapat diselesaikan melalui mediasi sukarela pada tahap pemeriksaan perkara dan tingkat upaya hukum. Proses mediasi pada dasarnya bersifat tertutup kecuali para pihak menghendaki lain. Penyampaian laporan mediator mengenai pihak yang tidak beriktikad baik dan ketidakberhasilan proses mediasi kepada hakim pemeriksa perkara bukan merupakan pelanggaran terhadap sifat tertutup mediasi. Pertemuan mediasi dapat dilakukan melalui media komunikasi audio visual jarak jauh yang memungkinkan semua pihak saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam pertemuan.

Para pihak wajib menghadiri secara langsung pertemuan mediasi dengan atau tanpa didampingi oleh kuasa hukum. Kehadiran para pihak melalui komunikasi audio visual jarak jauh yang memungkinkan semua pihak saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam pertemuan dianggap sebagai kehadiran langsung. Ketidakhadiran para pihak secara langsung dalam proses mediasi hanya dapat dilakukan berdasarkan alasan sah. Alasan sah tersebut meliputi kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan hadir dalam pertemuan mediasi berdasarkan surat keterangan dokter; di bawah pengampunan; mempunyai tempat tinggal, kediaman atau kedudukan di luar negeri; atau menjalankan tugas Negara, tuntutan profesi atau pekerjaan yang tidak dapat ditinggalkan.

Hal yang paling menjadi dasar yang merujuk pada Perma No 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan adalah ditetapkannya iktikad baik sebagai salah satu determinan dalam menentukan berhasil tidaknya mediasi. Perma ini tampaknya ingin lebih mendorong kesadaran para pihak berperkara untuk mengubah pola pikirnya dalam menyelesaikan sengketa dengan mengendepankan upaya-upaya perdamaian. Ketentuan tersebut tampaknya didasarkan pada kenyataan bahwa banyak perkara yang dimediasi, terutama di Pengadilan kota-kota besar yang pihak materil principal-nya tidak pernah datang menghadap mediator sekalipun telah dipanggil. Padahal dapat diketahui bersama bahwa mediasi secara langsung kepada pihak materil jauh lebih maksimal dan kemungkinan tercapainya suatu perdamaian juga lebih besar. Karena itu, dapat dipahami mengapa Perma Mediasi menekankan pentingnya iktikad baik dari pihak berperkara dengan ancaman bahwa jika penggugat tidak beriktikad baik, maka gugatannya dinyatakan tidak dapat diterima.

Pasal 7 ayat 1 Perma No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan menekankan kewajiban para pihak berperkara untuk beriktikad baik selama proses mediasi. Jika tidak beriktikad baik, maka gugatannya dinyatakan tidak dapat diterima. Pasal 7 ayat 2 menguraikan hal atau keadaan dimana salah satu atau kedua pihak berperkara dinyatakan tidak beriktikad baik, yaitu:

  1. Tidak hadir setelah dipanggil secara patut 2 (dua) kali berturut-turut dalam pertemuan mediasi tanpa alasan sah;
  2. Menghadiri pertemuan mediasi pertama, tetapi tidak pernah hadir pada pertemuan berikutnya meskipun telah dipanggil secara patut 2 (dua) kali berturut-turut tanpa alasan sah;
  3. Ketidakhadiran berulang-ulang yang mengganggu jadwal pertemuan mediasi tanpa alasan sah;
  4. Menghadiri pertemuan mediasi, tetapi tidak mengajukan dan/atau tidak menanggapi resume perkara pihak lain; dan/atau
  5. Tidak menandatangani konsep kesepakatan perdamaian yang telah disepakati tanpa alasan sah.

Biaya mediasi

Biaya mediasi adalah biaya yang timbul dalam proses mediasi sebagai bagian dari biaya perkara, yang diantaranya meliputi biaya pemanggilan para pihak, biaya perjalanan salah satu pihak berdasarkan pengeluaran nyata, biaya pertemuan, biaya ahli, dan/atau biaya lain yang diperlukan dalam proses mediasi. Komponen biaya mediasi tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Jasa mediator

  • Jasa mediator hakim dan pegawai pengadilan tidak dikenakan biaya;
  • Biaya jasa mediator nonhakim dan bukan pegawai pengadilan ditanggung bersama atau berdasarkan kesepakatan para pihak.

b. Biaya pemanggilan para pihak

  • Biaya pemanggilan para pihak untuk menghadiri proses mediasi dibebankan terlebih dahulu kepada pihak penggugat melalui panjar biaya perkara;
  • Biaya pemanggilan sebagaimana dimaksud tersebut di atas ditambahkan pada perhitungan biaya pemanggilan para pihak untuk menghadiri sidang;
  • Dalam hal para pihak berhasil mencapai kesepakatan perdamaian, biaya pemanggilan sebagaimana dimaksud tersebut diatas ditanggung bersama atau sesuai kesepakatan para pihak;
  • Dalam hal mediasi tidak dapat dilaksanakan atau tidak berhasil mencapai kesepakatan, biaya pemanggilan para pihak dibebankan kepada pihak yang kalah, kecuali perkara perceraian di lingkungan Peradilan Agama.

c. Biaya lain-lain di luar biaya jasa mediator dan biaya pemanggilan para pihak sebagaimana dimaksud di atas dibebankan kepada para pihak berdasarkan kesepakatan.

Mediasi diselenggarakan di ruang mediasi pengadilan atau di tempat lain di luar pengadilan yang disepakati oleh para pihak. Mediator hakim dan pegawai pengadilan dilarang menyelenggarakan mediasi di luar pengadilan. Mediator nonhakim dan bukan pegawai pengadilan yang dipilih atau ditunjuk bersama-sama dengan mediator hakim atau pegawai pengadilan dalam satu perkara wajib menyelenggarakan mediasi bertempat di pengadilan. Penggunaan ruang mediasi pengadilan untuk mediasi tidak dikenakan biaya.

Dalam proses mediasi, terdapat 3 (tiga) tahapan yaitu:

1. Tahap pramediasi

Tahap pramediasi adalah tahap awal dimana mediator menyusun sejumlah langkah dan persiapan sebelum mediasi dimulai. Pada tahap ini, mediaor melakukan beberapa langkah strategis, yaitu membangun kepercayaan diri, menghubungi para pihak, menggali dan memberikan informasi awal mediasi, fokus pada masa depan, mengkoordinasikan para pihak yang bersengketa, mewaspadai perbedaan budaya, menentukan tujuan, para pihak, serta waktu dan tempat pertemuan, dan menciptakan situasi kondusif bagi kedua belah pihak.

2. Tahap pelaksanaan mediasi

Tahap pelaksanaan mediasi adalah tahap dimana para pihak yang bersengketa bertemu dan berunding dalam suatu forum. Dalam tahap ini, terdapat beberapa langkah penting, yaitu sambutan dan pendahuluan oleh mediator, presentasi dan pemaparan kondisi-kondisi faktual yang dialami para pihak, mengurutkan dan mengidentifikasi secara tepat permasalahan para pihak, diskusi (negosiasi) masalah-masalah yang disepakati, mencapai alternatif-alternatif penyelesaian, menemukan butir kesepakatan dan merumuskan keputusan, mencatat dan menuturkan kembali keputusan, dan penutup mediasi.

3. Tahap akhir implementasi mediasi

Tahap ini merupakan tahap dimana para pihak menjalankan kesepakatan-kesepakatan yang telah mereka tuangkan bersama dalam suatu perjanjian tertulis. Para pihak menjalankan hasil kesepakatan berdasarkan komitmen yang telah mereka tunjukkan selama dalam proses mediasi. Pelaksanaan (implementasi) mediasi umumnya dijalankan oleh para pihak sendiri, tetapi pada beberapa kasus, pelaksanaannya dibantu oleh pihak lain.

hubungikam

 

default instagram  default youtube  email